BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG
Hukum
merupakan alat rekayasa sosial yang digunakan untuk mengubah pola dan tingkah
laku masyarakat menjadi sesuai dengan peraturan yang dikehendaki oleh hukum.
Dewasa ini banyak terjadi pelanggaran dan kejahatan yang terjadi di masyarakat,
seperti kasus penerobosan lampu merah yang banyak dilakukan oleh masyarakat
pengguna jalan.
Memang ada
studi tentang hukum yang berkenaan dengan masyarakat yang merupakan cabang dari
Ilmu hukum tetapi tidak di sebut sebagai sosiologi hukum melainkan disebut
sebagai Sosiologi Jurispudence. Penelahan hukum secara sosiologis menunjukkan
bahwa hukum merupakan refleksi dari kehidupan masyarakat. Yakni merupakan
refleksi dari unsur-unsur sebagai berikut :
1. Hukum
merupakan refleksi dari kebiasaan, tabiat, dan perilaku masyarakat.
2. Hukum
merupakan refleksi hak dari moralitas masyarakat maupun moralitas universal.
3. Hukum
merupakan refleksi dari kebutuhan masyarakat terhadap suatu keadilan dan
ketertiban sosial dalam menata interaksi antar anggota masyarakat.
Di samping
itu, pesatnya perkembangan masyarakat , teknologi dan informasi pada abad kedua
puluh, dan umumnya sulit di ikuti sektor hukum telah menyebabkan orang berpikir
ulang tentang hukum. Dengan mulai memutuskan perhatianya terhadap interaksi
antara sektor hukum dan masyarakat di mana hukum tersebut diterapkan. Namun
masalah kesadaran hukum masyarakat masih menjadi salah satu faktor terpenting
dari efektivitas suatu hukum yang diperlakukan dalam suatu negara.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang masalah di atas
dapat di tarik beberapa rumusan masalah yaitu :
1.
Pengertian Efektivitas Hukum
2.
Hal berlakunya hukum
3.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
efektivitas hukum
4.
Teori-teori Efektivitas Hukum
1.3.TUJUAN
Tujuan
permasalahan adalah untuk mengetahui pengertian efektifotas hukum, hal
berlakunya hukum dan teori-teori tentang evektifitas hukum tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Pengertian efektifitas hukum
Menurut
Hans Kelsen, Jika Berbicara tentang efektifitas hukum, dibicarakan pula tentang
Validitas hukum. Validitas hukum berarti bahwa norma-norma hukum itu mengikat,
bahwa orang harus berbuat sesuai dengan yang diharuskan oleh norma-norma
hukum., bahwa orang harus mematuhi dan menerapkan norma-norma hukum. Efektifitas
hukum berarti bahwa orang benar-benar berbuat sesuai dengan norma-norma hukum
sebagaimana mereka harus berbuat, bahwa norma-norma itu benar-benar diterapkan
dan dipatuhi.
2.2.Hal berlakunya hukum
1. Secara
filosofis
Berlakunya
hukum secara filosofis berarti bahwa hukum tersebut sesuai dengan cita-cita
hukum, sebagai nilai positif yang tertinggi.
2. Secara
yuridis
Berlakunya hukum secara
secara yuridis, dijumpai anggapan-anggapan sebagai berikut:
a. Hans kelsen, yang menyatakan bahwa kaidah
hukum mempunyai kelakuan yuridis, apabila penetuannya berdasarkan kaidah yang
lebih tinggi tingkatannya. Ini berhubungan dengan teori “stufenbau” dari kelsen
b. W.
Zevenbergen, menyatakan bahwa suatu kaidah hukum mempunyai kelakuan yuridis,
jikalau kaidah tersebut “op de verischte ize is tot sand gekomen”
3. Secara
sosiologis
Kaedah
hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaedah tersebut efektif, artinya,
kaedah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak
diterima oleh warga masyarakt (Teori kekuasaan), atau kaedah tadi berlaku
karena diterima dan diakui oleh masyarakat (teori pengakuan). Berlakunya kaidah
hukum secara sosiologis menurut teori pengakuan adalah apabila kaidah hukum
tersebut diterima dan diakui masyrakat. Sedangkan menurut teori paksaan
berlakunya kaidah hukum apabila kaidah hukum tersebut dipaksakan oleh penguasa.
2.3.Faktor-faktor yang mempengaruhi
efektifitas hukum
menurut
Prof. Dr. Soerjono Soekamto, SH.,MA antara lain :
1.
faktor hukumnya sendiri
Hukum berfungsi untuk
keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Dalam praktik penyelenggaraan hukum di
lapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan.
Kepastian Hukum sifatnya konkret berwujud nyata, sedangkan keadilan bersifat
abstrak sehingga ketika seseorang hakim memutuskan suatu perkara secara
penerapan undang-undang saja maka ada kalanya nilai keadilan itu tidak
tercapai. Maka ketika melihat suatu permasalahan mengenai hukum setidaknya
keadilan menjadi prioritas utama. Karena hukum tidaklah semata-mata dilihat
dari sudut hukum tertulis saja, Masih banyak aturan-aturan yang hidup dalam
masyarakat yang mampu mengatur kehidupan masyarakat. Jika hukum tujuannya hanya
sekedar keadilan, maka kesulitannya karena keadilan itu bersifat subjektif,
sangat tergantung pada nilai-nilai intrinsik subjektif dari masing-masing
orang. Menurut Prof. Dr. Achmad Ali apa yang adil bagi si Baco belum tentu di
rasakan adil bagi si Sangkala.
Mengenai
faktor hukum dalam hal ini dapat diambil contoh pada pasal 363 KUHP yang
perumusan tindak pidananya hanya mencantumkan maksimumnya sajam, yaitu 7 tahun
penjara sehingga hakim untuk menentukan berat ringannya hukuman dimana ia dapat
bergerak dalam batas-batas maksimal hukuman.
Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan hakim dalam menjatuhkan pidana
terhadap pelaku kejahatan itu terlalu ringan, atau terlalu mencolok perbedaan
antara tuntutan dengan pemidanaan yang dijatuhkan. Hal ini merupakan suatu
penghambat dalam penegakan hukum tersebut.
2. faktor penegak hukum
Faktor
ini meliputi pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum atau law
enforcement. Bagian-bagian itu law enforcement adalah aparatur penegak hukum
yang mampu memberikan kepastian, keadilan, dan kemanfaat hukum secara proporsional.
Aparatur penegak hukum menyangkup pengertian mengenai institusi penegak hukum
dan aparat (orangnya) penegak hukum, sedangkan aparat penegak hukum dalam arti
sempit dimulai dari kepolisian, kejaksaan, kehakiman, penasehat hukum dan
petugas sipir lembaga pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur diberikan
kewenangan dalam melaksanakan tugasnya masing-masing, yang meliputi kegiatan
penerimaan laporan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, penbuktian,
penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pembinaan kembali terpidana.
Sistem peradilan pidana harus
merupakan kesatuan terpadu dari usaha-usaha untuk menangulangi kejahatan yang
sesungguhnya terjadi dalam masyarakat. Apabila kita hanya memakai sebagian
ukuran statistik kriminalitas, maka keberhasilan sistem peradilan pidana akan
dinilai berdasarkan jumlah kejahatan yang sampai alat penegak hukum. Beberapa
banyak yang dapat diselesakan kepolisian, kemudian diajukan oleh kejaksaan ke
pengadilan dan dalam pemeriksaan di pengadilan dinyatakan bersalah dan dihukum.
Sebenarnya apa yang diketahui dan diselesakan melalui sistem peradilan pidana
hanya puncaknya saja dari suatu gunung es. Masih banyak yang tidak terlihat,
tidak dilaporkan (mungkin pula tidak diketahui, misalnya dalam hal “kejahatan
dimana korbanya tidak dapat ditentukan”atau “crimes without victims”) dan
karena itu tidak dapat di selesaikan. Keadaan seperti ini tidak dapat
dipersalahkan sepenuhnya kepada sistem peradilan pidana. Karena tugas sistem
ini adalah terutama menyelesekan kasus-kasus yang sampai padanya.
Secara sosiologis, setiap
aparat penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role).
Kedudukan (sosial) merupakan posisi tertentu di daloam struktur kemasyarakatan.
Kedudukan tersebut merupakan peranan atau role, oleh karena itu seseorang yang
mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya mempunyai peranan. Suatu hak merupakan
wewenang untuk berbuat dan tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau
tugas. Suatu peranan tertentu dapat di jabarkan dalam unsur- unsur sebagai
berikut : (1) peranan yang ideal / ideal role ; (2) peranan yang seharusnya /
expected role; (3) peranan yang dianggap oleh diri sendiri / perceived role;
dan (4) perana yang sebenarnya dilakukan / actual role.
Penegak hukum dalam menjalankan
perannya tidak dapat berbuat sesuka hati mereka juga harus memperhatikan etika
yang berlaku dalam lingkup profesinya, etika memperhatikan atau
mempertimbangkan tingkah laku manusia dalam pengambilan keputusan moral. Dalam profesi
penegak hukum sendiri mereka telah memiliki kode etik yang diatur tersendiri,
tapi dalam prakteknya kode etik yang telah ditetapkan dan di sepakati itu masih
banyak di langgar oleh para penegak hukum. Akibat perbuatan-perbuatan para
penegak hukum yang tidak memiliki integritas bahkan dapat dikatakan tidak
beretika dalam menjalankan profesinya, sehingga mengakibatkan lambatnya
pembangunan hukum yang diharapkan oleh bangsa ini, bahkan menimbulkan
pikiran-pikiran negative dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap kinerja
penegak hukum.
Aturan para aparat dan aparatur penegak hukum dijabarkan sebagai berikut :
1. Kepolisian,
kekuasaan polisi/polri adalah merupakan sebagai perwujudan istilah yang
mengambarkan penjelmaan tugas, status, organisasi,wewenang dan tanggung jawab
polisi. Secara umum kedudukan, fungsi dan tugas kepolisian diatur dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI.
2. Kejaksaan,
secara umum kedudukan, fungsi dan tugas kepolisian diatur dalam undang-undang
nomor 16 tahun 2004 tentang kejaksaan RI.
3. Kehakiman,
secara umum kedudukan, fungsi dan tugas kepolisian diatur dalam undang-undang
nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasan hakim
4. Lembaga
pemasyarakatan, secara umum kedudukan, fungsi dan tugas kepolisian diatur dalam
undang-undang nomor 19 tahun 2005 tentang pemasyarakatan
Ada tiga elemen penting yang
mempengaruhi mekanisme bekerjanya aparat dan aparatur penegak hukum, menurut
Jimmly Asshidiqie elemen tersebut antara lain : (1) istitusi penegak hukum
beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja
kelembagaannya; (2) budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk
mengenai kesejahteraan aparatnya; dan (3) perangkat peraturan yang mendukung
baik kinerja kelembagaanya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan
standar kerja, baik hukum materilnya maupun hukum acaranya. Upaya penegakan
hukum secara sistematik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara
simultan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan secara internal dapat diwujudkan
secara nyata
.
Dalam pelaksanaannya penegakan hukum
oleh penegak hukum di atas dijumpai beberapa halangan yang disebabkan oleh
penegak hukum itu sendiri, halagan-halangan tersebut antara lain :
1, Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain
dengan siapa dia beriteraksi.
2. Tingkat aspirasi yang relative belum tinggi.
3. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit
sekali untuk membuat suatu proyeksi.
4. Belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu,
terutama kebutuhan materiel.
5. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.
Menurut Soerjono Soekanto
hambatan maupun halangan penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum tersebut
dapat diatasi dengan cara mendidik, membiasakan diri untuk mempunyai
sikap-sikap antara lain : sikap terbuka, senantiasa siap menerima perubahan,
peka terhadap masalah yang terjadi, senantiasa mempunyai informasi yang
lengkap, oreentasi ke masa kini dan masa depa, menyadari potensi yang dapat di
kembangkan, berpegang pada suatu perencanaan, percaya pada kemampuan iptek,
menyadari dan menghormati hak dan kewajiban, berpegang teguh pada keputusan
yang diambil atas dasar penalaran dan perhitungan yang mantab.
3. faktor sarana atau fasilitas yang
mendukung penegakan hukum
Fasilitas
pendukung secara sederhana dapat dirumuskan sebagai sarana untuk mencapai
tujuan. Ruang lingkupnya terutama adalah sarana fisik yang berfungsi sebagai
faktor pendukung. Fasilitas pendukung mencangkup tenaga manusia yang
berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai,
keuangan yang cukup dan sebagainya.
Jika fasilitas pendukung tidak
terpenuhi maka mustahil penegakan hukum akan nencapai tujuannya. Kepastian dan
kecepatan penyelesaian perkara tergantung pada fasilitas pendukung yang ada
dalam bidang-bidang pencegahan dan pemberantasan kejahatan.
Peningkatan tehnologi deteksi
kriminalitas, mempunyai peranan yang sangat penting bagi kepastian dan
penanganan perkara-perkara pidana, sehingga tanpa adanya sarana atau fasilitas
tersebut tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya
dengan peranan yang aktual, maka untuk sarana atau fasilitas tersebut sebaiknya
dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1.
Yang tidak ada maka diadakan yang baru betul;
2.
yang rusak atau salah maka diperbaiki atau di betulkan;
3.
yang kurang seharusnya di tambah;
4.
yang macet harus di lancarkan
5. yang mundur atau merosot harus di majukan
atau di tingkatkan.
Faktor
ketiga yaitu faktor sarana atau fasilitas yang membantu penegakan hukum,
menurut Soerjono Soekanto sendiri menyatakan bahwa tidak mungkin penegakan
hukum akan berlangsung dengan lancar tanpa adanya sarana atau fasilitas yang
memadai. Fasilitas atau sarana yang memadai tersebut, antara lain, mencakup
tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan
yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal itu tidak terpenuhi
maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya. Kita bisa bayangkan
bagaimana penegakan peraturan akan berjalan sementara aparat penegaknya
memiliki pendidikan yang tidak memadai, memiliki tata kelola organisasi yang
buruk, di tambah dengan keuangan yang minim. Akan tetapi hal itu bukanlah
segala-galanya kalau aparatnya sendiri masih buruk, karena sebaik apapun sarana
atau fasilitas yang membantu penegakkan hukum tanpa adanya aparat penegak hukum
yang baik hal itu hanya akan terasa sia-sia. Hal itu dapat kita lihat misalnya
pada insatasi kepolisian, di mana saat ini hampir bisa dikatakan dalam hal
fasilitas pihak kepolisian sudah dapat dikatakan mapan, tapi berdasarkan survey
yang dilakukan oleh Lembaga Transparency International Indonesia menyatakan
bahwa instasi terkorup saat ini ada di tubuh kepolisian dengan indeks suap
sebesar 48 %, bentuk korupsi yang terjadi di tubuh kepolisian, itu contohnya
saja seperti korupsi kecil-kecilan oleh Polisi Lantas yang mungkin sering
dialami oleh pengendara, sampai ke tingkat yang lebih tinggi semisal tersangka
kasus korupsi Susno. Begitu juga Dalam ligkup pengadilan dan kejaksaan pun
tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di institusi kepolisian.
4. faktor masyarakat
Penegakan hukum berasal dari
masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian didalam masyarakat.
Masyarakat mempunyai pendapat-pendapat tertentu mengenai hukum. Masyarakat
Indonesia mempunyai pendapat mengenai hukum sangat berfareasi antara lain :
1. Hukum diartikan sebagai ilmu pengetahuan;
2. hukum diartikan sebagai disiplin, yakni sistem ajaran tentang kenyataan;
3. hukum diartikan sebagai norma atau kaidah, yakni patokan perilaku pantas
yang diharapkan;
4. hukum diartikan sebagai tata hukum (yakni hukum positif tertulis) ;
5. hukum diartikan sebagai petugas atau pejabat;
6. hukum diartikan sebagai keputusan pejabat atau penguasa;
7. hukum diartikan sebagai proses pemerintahan;
8. hukum diartikan sebagai perilaku teratur dan unik;
9. hukum diartikan sebagai jalinan nilai;
10. hukum diartikan sebagai seni.
Berbagai pengertian tersebut di
atas timbul karena masyarakat hidup dalam konteks yang berbeda, sehingga yang
seharusnya dikedepankan adalah keserasiannya, hal inin brttujuan supaya ada
titik tolak yang sama. Masyarakat juga mempunyai kecenderungan yang besar untuk
mengartikan hukum dan bahkan mengindentifikasi dengan petugas (dalam hal ini
adalah penegak hukum adalah sebagai pribadi).
Salah satu akibatnya adalah
bahwa baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola perilaku penegak
hukum itu sendiri yang merupakan pendapatnya sebagai cermina dari hukum sebagai
struktur dan proses. Keadaan tersebut juga dapat memberikan pengaruh baik,
yakni bahwapenegak hukum akan merasa bahwa perilakunya senantiasa mendapat
perhatian dari masyarakat.
Permasalahan lain yang timbul
sebagai akibat anggapan masyarakat adalah megenai penerapan undang-undangan
yang ada / berlaku. Jika penegak hukum menyadari dirinya dianggap hukum oleh
masyarakat, maka kemungkinan penafsiran mengenai pengertian perundang-undangan
bisa terlalu luas atau bahkan tewrlalu sempit. Selain itu mungkin timbul
kebiasaan untuk kurang menelaaah bahwa perundang-undangan kadangkala tertinggal
dengan perkembagan di dalam masyarakat. Anggapan-anggapan masyarakat tersebut
harus mengalami perubahan dalam kadar tertentu. Perubahan tersebut dapat
dilakukan memlalui penerangan atau penyuluhan hukum yang bersinambungan dan
senan tiasa diefaluasi hasil-hasinya, untuk kemudian dkembangkan lagi.
Kegiatan-kegiatan tersebut nantinya kan dapat menempatkan hukum pada kedudukan
dan peranan yang semestinya.
5.
faktor
kebudayaan
Faktor kebudayaan sebernarnya bersatu
padu dengan faktor masyarakat sengaja dibedakan, karena didalam pembahasannya
diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan
spiritual atau non material. Hal ini dibedakan sebab menurut Lawrence M.
Friedman yang dikutip Soerdjono Soekamto , bahwa sebagai suatu sistem (atau
subsistem dari sistem kemasyarakatan), maka hukum menyangkup, struktur,
subtansi dan kebudayaan. Struktur menyangkup wadah atau bentuk dari sistem
tersebut yang, umpamanya, menyangkup tatanan lembaga-lembaga hukum formal,
hukum antara lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan kewajiban-kewajibanya, dan seterusnya.
Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencangkup nilai-nilai yang mendasari
hukum yang berlaku, nilai-nilai yangmerupakan konsepsi-konsepsi abstrak
mengenai apa yang dianggap baik (hingga dianuti) dan apa yang diangap buruk
(sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan
nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan estrim yang harus diserasikan.
Pasangan nilai yang berperan
dalam hukum menurut Soerdjono Soekamto adalah sebagai berikut :
1. Nilai ketertiban dan nilai ketenteraman.
2. Nilai jasmaniah/kebendaan dan nilai rohaniah/seakhlakan
.
3. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/ inovatisme.
Dengan adanya keserasian nilai
dengan kebudayaan masyarakat setempat diharapkan terjalin hubungan timbal balik
antara hukum adap dan hukum positif di Indonesia, dengan demikian ketentuan
dalam pasal-pasal hukum tertulis dapat mencerminkan nilai-nilai yang menjadi
dasar dari hukum adat supaya hukum perundang-undangan tersebut dapat berlaku
secara efektif. Kemudian diharapkan juga adanya keserasian antar kedua nilai
tersebut akan menempatkan hukum pada tempatnya.
2.4. Teori-teori Efektivitas Hukum
Ada
beberapa teori tentang efektivitas yang dijelaskan oleh para sarjana yaitu:
Teori Efektivitas (Soerjono Soekanto)
Hukum sebagai kaidah merupakan patokan
mengenai sikap tindak atau perilaku yang pantas. Metode berpikir yang
dipergunakan adalah metode deduktif-rasional, sehingga menimbulkan jalan
pikiran yang dogmatis. Di lain pihak ada yang memandang hukum sebagai sikap
tindak atau perilaku yang teratur (ajeg). Metode berpikir yang digunakan adalah
induktif-empiris, sehingga hukum itu dilihatnya sebagai tindak yang
diulang-ulang dalam bentuk yang sama, yang mempunyai tujuan tertentu.
Efektivitas hukum dalam
tindakan atau realita hukum dapat diketahui apabila seseorang menyatakan bahwa
suatu kaidah hukum berhasil atau gagal mencapai tujuanya, maka hal itu biasanya
diketahui apakah pengaruhnya berhasil mengatur sikap tindak atau perilaku tertentu
sehingga sesuai dengan tujuannya atau tidak. ) Efektivitas hukum artinya
efektivitas hukum akan disoroti dari tujuan yang ingin dicapai, yakni
efektivitas hukum. Salah satu upaya yang biasanya dilakukan agar supaya
masyarakat mematuhi kaidah hukum adalah dengan mencantumkan sanksi-sanksinya.
Sanksi-sanksi tersebut bisa berupa sanksi negatif atau sanksi positif, yang
maksudnya adalah menimbulkan rangsangan agar manusia tidak melakukan tindakan
tercela atau melakukan tindakan yang terpuji.
Diperlukan kondisi-kondisi
tertentu yang harus dipenuhi agar hukum mempunyai pengaruh terhadap sikap
tindak atau perilaku manusia. Kondisi-kondisi yang harus ada adalah antara lain
bahwa hukum harus dapat dikomunikasikan. Komunikasi hukum lebih banyak tertuju
pada sikap, oleh karena sikap merupakan suatu kesiapan mental sehingga
seseorang mempunyai kecendurangan untuk memberikan pandangan yang baik atau
buruk, yang kemudian terwujud di dalam perilaku nyata.
Apabila yang dikomunikasikan
tidak bisa menjangkau masalah-masalah yang secara langsung dihadapi oleh
sasaran komunikasi hukum maka akan dijumpai kesulitan-kesulitan. Hasilnya yaitu
hukum tidak punya pengaruh sama sekali atau bahkan mempunyai pengaruh yang
negatif. Hal itu disebabkan oleh karena kebutuhan mereka tidak dapat dipenuhi
dan dipahami, sehingga mengakibatkan terjadinya frustasi, tekanan, atau bahkan
konflik.
BAB III
KESIMPULAN
3.1Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat
disimpulkan bahwa efektivitas hukum merupakan bahwa orang benar benar berbuat
sesuai dengan norma norma hukum sebagaimana mereka harus berbuat, bahwa norma
norma itu benar benar di terapkan dan dipatuhi.Untuk mengetahui apakah hukum
itu benar benar diterapkan atau dipatuhi oleh masyarakat maka harus dipenuhi
beberapa factor yaitu :
1.
Factor hukumnya sendiri
2.
Factor penegak hukum
3.
Factor sarana atau fasilitas yang
mendukung penegakan hukum
4.
Factor masyarakat itu sendri
5.
Factor kebudayaan
Kelima
factor tersebut saling berkaitan erat oleh karena merupakan esensi dari
penegakan hukum itu,juga merupakan tolak ukur dari efektivitas hukum.
Jadi
apabila semua factor itu telah terpenuhi barulah keadilan dalam masyarakat
dapat dirasakan sepenuhnya.Karena seperti diketahui bahwa keadilan adalah
tujuan utama dari penerapan hukum.Berarti dengan adanya keadilan hukum itu bisa
diterima oleh masyarakat umum dan barulah efektivitas hukum itu terwujud.
3.2.Saran
Bagi
para penegak hukum dalam membuat peraturan perundang undangan harus melihat
terlebih dahulu dapat diterimakah hukum itu oleh masyarakat dan sejauh mana
peraturan itu memberikan keadilan supaya terciptanya kepastian hukum.
DAPTAR PUSTAKA
Doyle, Paul
Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, terj. Robert M.Z. Lawang, Gramedia.
Jakarta: 1986
Komentar
Posting Komentar